Tantangan Swasembada Pangan di Tengah Kultur Bertani yang Kian Tergerus

By : Ir. Wiwiek Yuniarti Costa, M.Si

Urgensi swasembada untuk menjaga ketahanan pangan nasional meningkat di tengah pertumbuhan populasi penduduk dan risiko perubahan iklim. Menurut US Department of Agriculture (2023), Indonesia menjadi salah satu negara dengan rata-rata konsumsi beras terbesar di dunia, yaitu mencapai 35,37 juta ton per tahun pada dari tahun 2023 dan diprakirakan akan terus meningkat hingga saat ini di tahun 2025, hal ini sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Berbeda dengan permintaan yang terus meningkat, produksi beras Indonesia justru menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Perkembangan tersebut tercermin dari hasil survei kerangka sampel area (KSA) BPS, produksi gabah kering giling (GKG) pada tahun 2024 mencapai 52,66 juta ton atau turun 11,05% dari tahun 2018. Urgensi swasembada pangan semakin mendesak seiring krisis perubahan iklim yang tidak terelakan, seperti halnya yang terjadi pada tahun 2023 ketika fenomena El Nino menekan produksi global hingga mendorong banyak negara untuk membatasi ekspor beras guna melindungi kebutuhan pangan domestiknya. Kondisi saat itu menunjukkan ketergantungan terhadap impor pangan dapat mengancam ketahanan pangan nasional, terutama ketika produksi global terganggu.

Intensifikasi pertanian menjadi solusi cepat (quick win) dalam upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) di lahan eksisting melalui dukungan benih unggul, pupuk, pompanisasi dan optimalisasi lahan (oplah). Sementara itu, program ekstensifikasi ditargetkan dapat menambah luas tanam melalui cetak sawah baru seluas 3 juta ha yang ditargetkan selesai hingga tahun 2029. Sebagai salah satu wilayah penopang ketahan pangan nasional, program swasembada turut terdistribusi di berbagai provinsi sentra produksi pangan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Program intensifikasi melalui optimalisasi lahan rawa dan tadah hujan di wilayah NTT tersebar di berbagai kabupaten/kota antara lain , di seluruh daratan Timor, daratan Flores, daratan Sumba, Alor dan Rote serta Sabu Raijua.

Meski berpotensi mendukung prospek peningkatan produksi padi dan kemandirian pemenuhan kebutuhan beras nasional, namun program swasembada pangan masih dihadapkan oleh sejumlah tantantangan, salah satunya masalah regenerasi petani. Dalam 10 tahun terakhir, kontribusi petani muda mengalami penurunan. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2024 (ST2023), proporsi rumah tangga usaha pertanian (RTUP) dalam kelompok umur di bawah 45 tahun di NTT sangat menurun. Perkembangan tersebut menjadi sinyal semakin tergerusnya minat generasi muda untuk berkerja di sektor pertanian, hal ini sejalan dengan insentif yang kurang kompetitif dan masalah ketersediaan lahan. Hal ini menjadi sinyal ketersediaan lahan pertanian yang semakin menyempit dan dapat berdampak langsung terhadap produktivitas dan efisiensi usaha pertanian.

Merespon tantangan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pertanian turut menginisiasi program Brigade Pangan. Melalui program ini, setiap Brigade Pangan yang terdiri atas 15 orang petani muda (milenial dan gen Z) dapat mengelola 200 ha lahan oplah dan cetak sawah baru dengan menerapkan model agribisnis pertanian modern yang bertatakelola. Dengan memberikan akses terhadap pengelolaan lahan, fasilitasi alat dan teknologi pertanian, subsidi bibit dan pupuk, serta potensi keuntungan dari sisa hasil usaha, inisiasi Brigade Pangan diharapkan mampu meningkatkan minat generasi muda untuk berkontribusi langsung terhadap pencapaian target swasembada pangan nasional.

Dipublikasi Pada : 25-04-2025