By : Galih Fajar Antasari, S.Tr.Pt., M.Sc
Bokashi merupakan istilah yang berasal dari bahasa Jepang yang berarti "bahan organik yang terfermentasi dengan baik", kini menjadi solusi yang kian populer dalam pengolahan pupuk kandang. Proses ini memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan alas tidur dan kotoran hewan. Hal ini diyakini memberikan berbagai manfaat, mulai dari peningkatan kandungan nutrisi pupuk kandang hingga perbaikan kesejahteraan ternak. Pengelolaan kotoran ternak sendiri merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca dan polutan udara yang nyata, baik di lingkungan kandang maupun instalasi pengolahan limbah. Oleh karena itu, pendekatan yang mampu menekan gas metana sekaligus mengurangi bau tidak sedap menjadi sebuah kebutuhan praktis di lapangan.
Pendekatan inovatif yang memadukan bokashi dengan biochar (arang hayati) muncul sebagai opsi yang menjanjikan. Teknologi ini tidak hanya ramah karena dapat menggunakan bahan baku lokal, tetapi juga menawarkan penurunan emisi metana yang signifikan. Sebuah studi mencatat penurunan metana hingga kisaran ±58% pada pengolahan kotoran sapi. Selain metana, kombinasi ini efektif menekan hidrogen sulfida (H2S), senyawa organik volatil (VOC), dan oksida nitrogen (NOx) yang selama ini menjadi pemicu utama keluhan bau dan ketidaknyamanan kerja. Uji lapangan terstruktur di sistem sapi perah Skotlandia saat ini sedang mengevaluasi kualitas pupuk, kemudahan penanganan, serta jejak karbon dari perlakuan fermentasi bokashi ini. Studi tersebut sekaligus menggarisbawahi bahwa bukti ilmiah terpublikasi pada skala komersial masih terbatas, sehingga hasil penelitian multi-tahun sangat ditunggu untuk memantapkan adopsi teknologi (Harrison et. al., 2024). Bagi unit pengelola limbah dan inkubator agribisnis, kombinasi bokashi dan biochar memberikan intervensi yang dampaknya cepat terasa, karena langsung menyasar emisi dan bau selama proses. Hal ini tentu memperbaiki kenyamanan lingkungan kerja dan persepsi sosial terhadap fasilitas pengolahan.
Secara ilmiah, pengurangan metana sekitar 58% tersebut dipahami berasal dari dua mekanisme kunci biochar. Pertama, biochar meningkatkan difusi oksigen mikro pada matriks bahan organik, sehingga jalur pembentukan metana (metanogenik) menjadi kurang dominan. Kedua, permukaan biochar yang berpori tinggi memiliki kemampuan untuk mengadsorpsi prekursor gas dan senyawa bau. Biochar bertindak sebagai "spons" kimia-fisik yang mengikat senyawa volatil dan menyediakan mikrohabitat yang menggeser dinamika mikroba. Pergeseran ini mengarahkan proses dekomposisi menuju lintasan yang lebih sedikit menghasilkan gas berbahaya, sehingga kualitas udara di sekitar tumpukan pengolahan atau alas kandang (bedding) menjadi lebih terjaga. Pada praktik bedding di kandang tertutup, umpan balik peternak yang dicatat dalam pengujian lapang menunjukkan bau yang lebih ringan saat memakai pendekatan fermentasi ini. Faktor bau dan kenyamanan menjadi kunci penerimaan teknologi ini untuk operasional harian di fasilitas peternakan.
Meski potensi manfaatnya kuat, penting untuk memahami lanskap bukti ilmiah saat ini. Sebagian data efektivitas bokashi pada skala komersial memang masih terus berkembang dan hasilnya sangat bergantung pada faktor lokal, seperti bahan baku, iklim, serta desain proses yang diterapkan. Studi pengomposan kotoran sapi dengan biochar telah menunjukkan dampak signifikan pada emisi dan polutan udara. Namun, pengujian konteks lokal tetap diperlukan untuk memastikan presisi manfaat saat metode fermentasi bokashi diterapkan dengan bahan dan rasio yang berbeda. Variasi seperti ukuran partikel bahan, kadar air awal, rasio C/N, serta jenis biochar (tergantung bahan asal dan suhu pirolisis) akan memengaruhi kinerja adsorpsi dan aliran gas di dalam tumpukan. Inilah mengapa uji multi-tahun dan multi-peternakan seperti yang dilakukan di Skotlandia menjadi sangat relevan untuk menjawab variasi sistemik serta menyediakan panduan praktis berbasis bukti (Harrison et. al., 2024).
Untuk mempercepat pembelajaran di tingkat lokal, rancangan proyek percontohan (pilot) sederhana dapat dilakukan di instalasi limbah atau kandang mitra. Desainnya dapat berupa tiga tumpukan paralel: tumpukan kontrol (tanpa perlakuan), tumpukan bokashi standar, dan tumpukan bokashi yang diperkaya biochar. Pemantauan emisi dan bau dapat dilakukan menggunakan sensor portabel H2S dan VOC, ditambah pencatatan suhu dan pH harian. Pendekatan ini memungkinkan verifikasi cepat terhadap penurunan polutan udara yang paling dirasakan oleh pekerja dan warga sekitar. Data yang terkumpul sekaligus menjadi data awal untuk pengembangan Prosedur Operasional Standar (POS) dalam skala yang lebih besar. Pengalaman lapang juga menunjukkan bahwa aspek kemudahan penanganan, seperti tekstur akhir, kelembapan, kecenderungan menggumpal, dan kemudahan saat ditebar, menjadi indikator penting bagi adopsi peternak.
Proses pengelolaan emisi tidak berhenti di fasilitas pengolahan. Fase aplikasi bokashi ke lahan juga memengaruhi emisi, terutama untuk gas metana dan dinitrogen oksida (N2O). Manajemen kelembapan tanah dan waktu aplikasi menjadi kunci. Penelitian menunjukkan bahwa rezim kelembapan tanah yang berbeda akan menggeser aktivitas mikroba dan menghasilkan pola emisi yang berlainan. Menghindari genangan air yang berkepanjangan pasca aplikasi bokashi dapat membantu menekan puncak emisi metana. Pada saat yang sama, menjaga kelembapan dalam rentang moderat, tanpa kondisi terlalu anaerob (yang memicu metana) atau terlalu aerasi (yang memicu N2O), dapat mengoptimalkan ketersediaan hara sekaligus menekan emisi gas rumah kaca (Shah et. al., 2024).
Sinergi dengan biochar juga berlanjut pada fase aplikasi di lahan. Kombinasi biochar dan bahan organik terbukti dapat meningkatkan ketersediaan hara, terutama fosfor, dan meningkatkan hasil tanaman. Hebatnya, pada sistem tertentu seperti sawah, manfaat ini dicapai tanpa menambah emisi kumulatif (Mon et. al., 2024). Peningkatan kapasitas tukar kation dan kemampuan retensi air oleh biochar membantu menahan amonium dan senyawa volatil lain di dalam tanah. Hal ini menurunkan potensi kehilangan nitrogen ke udara sekaligus memperbaiki efisiensi pemupukan. Bagi sistem pertanian yang menanam hortikultura atau padi di sekitar instalasi limbah, opsi ini memadukan manfaat kualitas udara di fasilitas pengolahan dengan peningkatan produktivitas di lahan petani.
Pada level sistem yang lebih luas, integrasi teknologi dapat dilakukan. Pemanfaatan digester biogas untuk mengolah fraksi limbah basah/encer, diikuti dengan finishing bokashi-biochar pada fraksi padat, dapat lebih jauh menurunkan emisi total dalam rantai pengelolaan kotoran. Pendekatan ini sekaligus mampu menghasilkan energi terbarukan. Kajian skala nasional menunjukkan adopsi digester pada peternakan besar berpotensi menurunkan intensitas emisi secara nyata (Greene et. al., 2024). Padatan sisa keluaran digester (digestate) kemudian dapat diformulasikan ulang dengan pendekatan fermentasi untuk mengurangi bau serta meningkatkan mutu agronomisnya sebelum diaplikasikan ke lahan. Bagi inkubator agribisnis yang berorientasi pada ekonomi sirkular, kombinasi biogas, bokashi, dan biochar menawarkan narasi kuat tentang penutupan siklus karbon dan nitrogen yang terukur, sekaligus membuka diversifikasi pendapatan melalui penjualan pupuk organik padat dan kredit energi.
Walaupun fokus utama tulisan ini adalah emisi dan kualitas udara, menarik pula untuk dicatat bahwa bokashi dari kotoran kambing menunjukkan peningkatan bermakna pada C-organik, Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) tanah (Kahendu, et. al., 2024). Hal ini mempertegas bahwa praktik rendah emisi tetap bisa menyajikan manfaat kesuburan tanah yang nyata. Dengan mengarahkan dosis dan waktu aplikasi yang tepat, manfaat agronomis ini dapat berjalan beriringan dengan perbaikan kualitas udara di fasilitas hulu. Bagi lokasi yang memelihara ternak spesifik, seperti kambing Boerka, karakteristik bahan baku lokal sebaiknya diprofilkan (kadar air dan C/N) agar formulasi biochar dapat dioptimalkan untuk performa emisi dan mutu hara sekaligus.
Beberapa langkah praktis yang dapat segera dijalankan meliputi penentuan rasio bahan baku sesuai target kelembapan fermentasi, serta penambahan biochar sekitar 5–10% dari bobot kering sebagai titik awal. Pemantauan suhu dan pH harian, serta pengukuran H2S/VOC mingguan menggunakan sensor portabel sederhana, dapat dilakukan untuk membangun kurva penurunan bau. Setelah 3–4 minggu, evaluasi organoleptik (bau, warna, tekstur), uji kadar air akhir, dan penyiapan sampel untuk uji mutu dapat dilakukan. Jika lokasi aplikasi adalah lahan yang berpotensi anaerob, aplikasi sebaiknya direncanakan saat periode pengeringan lahan atau dengan mengurangi lama genangan untuk mencegah lonjakan metana (Shah et. al., 2024).
Singkatnya, kombinasi bokashi dan biochar menghadirkan paket mitigasi yang dampaknya langsung terasa di lantai kandang dan instalasi limbah, sambil tetap mengamankan manfaat agronomis di hilir. Bukti lapangan dan penelitian terbaru menunjukkan penurunan signifikan pada metana dan polutan udara. Catatan pentingnya adalah uji konteks lokal dan dokumentasi proses sangat menentukan konsistensi hasil. Melalui proyek percontohan yang terstruktur, manajemen kelembapan pasca aplikasi, dan opsi integrasi dengan biogas, tim kerja dapat membangun protokol rendah emisi yang kuat sekaligus menyiapkan jalan bagi hilirisasi produk yang bernilai tambah.
