Kualitas Bokashi dan Kompos Berbasis Feses Ternak untuk Mendukung Tanaman Pangan

By : Galih Fajar Antasari, S.Tr.Pt., M.Sc

Bokashi dan kompos sering diperlakukan sebagai produk yang sama dengan nama berbeda. Padahal, secara ilmiah keduanya memiliki jalur biologis, kebutuhan bahan, dan implikasi agronomis yang berbeda. Bokashi adalah produk fermentasi anaerob dengan dominasi mikroorganisme fermentatif, sementara kompos adalah hasil dekomposisi aerob yang menekankan stabilisasi bahan organik. Perbedaan ini menjadikan jenis feses ternak dan komposisi pakannya sebagai variabel penentu keberhasilan, bukan sekadar preferensi teknis.

Data Pangaribuan (2012) menunjukkan bahwa bokashi dari feses ayam dan kambing memiliki rasio C/N sangat rendah, berkisar antara 6 hingga 8. Ini berarti bokashi tersebut sangat cepat matang dan cepat melepaskan nitrogen. Untuk tanaman pangan berumur pendek, ini adalah keuntungan besar. Namun, dari perspektif skeptis, keunggulan ini juga membawa risiko. Nitrogen yang terlalu cepat tersedia meningkatkan potensi kehilangan melalui volatilisasi dan pencucian jika aplikasi tidak tepat waktu. Artinya, bokashi “terbaik” secara kimia tidak selalu paling efisien secara agronomis jika tidak diimbangi manajemen aplikasi yang presisi.

Sebaliknya, bokashi sapi dan kerbau dengan C/N 12 hingga 14 sering dianggap inferior. Penilaian ini terlalu sempit. Rasio tersebut justru ideal untuk petani yang ingin memperbaiki kesuburan tanah secara bertahap. Kandungan serat tinggi berperan sebagai sumber karbon jangka menengah, mendukung pembentukan agregat tanah dan meningkatkan kapasitas tukar kation. Dalam konteks lahan kering atau tanah bertekstur ringan, keunggulan ini sering kali lebih penting daripada lonjakan hara sesaat.

Penelitian Siswanto et al. (2023) memberikan perspektif yang lebih matang dengan menunjukkan bahwa kombinasi feses sapi dan kambing menghasilkan kompos dengan rasio C/N dan kualitas biologis yang lebih seimbang dibandingkan penggunaan tunggal. Temuan ini mengoreksi bias lama yang cenderung mencari “satu jenis feses terbaik”. Dalam sistem nyata, keberagaman justru meningkatkan stabilitas. Prinsip ini sejalan dengan ekologi tanah, di mana heterogenitas substrat mendorong keanekaragaman mikroba dan fungsi ekosistem yang lebih resilien.

Aspek pakan kembali muncul sebagai faktor penentu. Bokashi dari feses ternak yang diberi pakan rumput lokal berkadar protein rendah akan selalu membutuhkan bahan tambahan kaya nitrogen untuk mencapai rasio ideal. Sebaliknya, ketika pakan sejak awal dirancang sebagai hijauan campuran, proses bokashi menjadi lebih sederhana, lebih murah, dan lebih konsisten. Penelitian Purwanto tentang penggunaan MOL bonggol pisang menunjukkan bahwa aktivator lokal mampu meningkatkan ketersediaan P dan K secara signifikan. Namun, efektivitas MOL tersebut sangat bergantung pada kualitas substrat awal, yakni feses itu sendiri.

Teknologi aktivator sering dijual sebagai solusi instan, padahal tanpa perbaikan hulu, hasilnya akan fluktuatif. Pendekatan yang lebih ilmiah adalah memandang pakan, feses, dan pupuk sebagai satu sistem yang tidak terpisahkan. Dengan cara ini, pelatihan tidak berhenti pada “cara membuat bokashi”, tetapi naik kelas menjadi “cara merancang pupuk organik sejak di kandang”.

Aplikasi pada tanaman pangan memperkuat argumen ini. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dosis 20 hingga 30 ton per hektar kompos atau bokashi memberikan hasil optimal pada banyak komoditas. Namun, yang sering luput adalah kecocokan jenis pupuk dengan tujuan produksi. POC dari feses sapi terbukti efektif untuk sayuran daun karena meningkatkan pH dan C-organik tanah. POC kambing lebih cocok untuk tanaman buah dan perkebunan karena kandungan K yang relatif lebih tinggi. POC ayam sangat reaktif dan memerlukan pengenceran lebih besar. Tanpa pemahaman ini, petani berisiko menyimpulkan bahwa pupuk organik “tidak bekerja”, padahal yang terjadi adalah salah pilih sumber.

Secara ekonomi, pendekatan berbasis data ini memberikan keuntungan nyata. Indrarosa menunjukkan pengurangan biaya pupuk anorganik hingga 50 persen tanpa penurunan hasil. Lebih dari itu, stabilitas hasil dalam jangka panjang meningkat karena tanah tidak mengalami kelelahan hara. Dari perspektif keberlanjutan, ini berarti penurunan emisi gas rumah kaca dari limbah ternak, peningkatan biodiversitas tanah, dan penguatan ekonomi lokal berbasis sumber daya sendiri.

Kesimpulan yang dapat ditarik bersifat tegas. Tidak ada pupuk organik yang “paling unggul” secara universal. Yang ada adalah kesesuaian antara jenis ternak, kualitas pakan rumput lokal, metode pengolahan, dan tujuan agronomis. Ketika semua variabel ini dibaca secara ilmiah, bokashi dan kompos tidak lagi menjadi praktik coba-coba, tetapi instrumen presisi dalam sistem pertanian berkelanjutan.

Dipublikasi Pada : 18-12-2025