Optimalisasi Potensi Pertanian NTT: Langkah Nyata Menuju Kemandirian Pangan Berkelanjutan

By : Galih Fajar Antasari, S.Tr.Pt., M.Sc.

Penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian memberikan kesempatan strategis untuk mengamati secara langsung dinamika pembangunan pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, diperoleh gambaran bahwa NTT memiliki potensi besar dalam mendukung pencapaian kemandirian pangan nasional. Di tengah meningkatnya isu ketahanan pangan global yang kian mengemuka, bahkan diproyeksikan berpotensi menjadi sumber konflik di masa mendatang. Program swasembada pangan yang dijalankan oleh Kementerian Pertanian di wilayah ini hadir sebagai langkah nyata dan penuh harapan. Program ini bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan sebuah strategi jangka panjang yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi ketergantungan pada impor pangan, serta menjadikan NTT sebagai daerah penghasil pangan yang tangguh dan berkelanjutan.

Konsep swasembada pangan tidak semata-mata berorientasi pada pencapaian target produksi, tetapi lebih jauh merupakan kemampuan fundamental suatu bangsa untuk memenuhi kebutuhan pangan dari hasil produksi dalam negeri. Urgensi swasembada pangan di Indonesia didorong oleh beberapa faktor utama yang saling terkait. Pertama, faktor demografi, yakni tingginya laju pertumbuhan penduduk sebagai negara berpenduduk terbesar keempat dunia yang memicu peningkatan permintaan pangan. Kedua, faktor lingkungan global berupa perubahan iklim ekstrem dan pembatasan ekspor pangan dari negara produsen, yang mengingatkan akan pentingnya kemandirian. Ketiga, faktor ekonomi dan sosial, di mana kemandirian pangan diyakini mampu menciptakan kestabilan harga, mengurangi beban devisa negara, memperkuat sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi, serta mencegah potensi gejolak akibat kelangkaan bahan pokok. Dengan demikian, swasembada pangan bukanlah pilihan, melainkan sebuah kebutuhan strategis nasional untuk mengantisipasi risiko internal maupun eksternal.

Menjawab urgensi tersebut, pemerintah, melalui Kementerian Pertanian, merumuskan strategi ganda: intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi berfokus pada peningkatan produktivitas di lahan yang sudah ada melalui perbaikan irigasi, penggunaan benih unggul, dan teknologi modern. Sementara ekstensifikasi adalah perluasan areal tanam baru, dengan target ambisius membuka jutaan hektar lahan baru, termasuk di luar Jawa seperti lahan rawa dan lahan kering. Kedua strategi ini saling melengkapi; intensifikasi memberikan hasil cepat (quick wins), sedangkan ekstensifikasi adalah investasi jangka panjang untuk fondasi ketahanan pangan masa depan. Program swasembada pangan ini dijalankan sebagai sebuah gerakan nasional yang terkoordinasi, melibatkan kolaborasi lintas sektoral antara Kementerian Pertanian sebagai pemimpin teknis, Kementerian Pertahanan yang melihatnya sebagai bagian dari pertahanan nasional, Kementerian PUPR yang membangun infrastruktur irigasi, dan Kementerian Dalam Negeri yang mengoordinasikan dukungan dari pemerintah daerah.

Program swasembada pangan di NTT memiliki beberapa target penting dan terencana untuk tahun 2025. Salah satu fokus utamanya adalah percepatan luas tambah tanam (LTT) padi pada lahan baku sawah seluas 176.693 hektare. Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Pertanian melaksanakan dua program utama, yakni Optimalisasi Lahan (Oplah) Non-Rawa dan Cetak Sawah Rakyat (CSR). Program Oplah diarahkan untuk meningkatkan Indeks Pertanaman (IP) dari satu kali panen per tahun (IP 100) menuju dua hingga tiga kali panen (IP 200–300) pada lahan yang sudah ada, dengan target 28.723 hektare tersebar di 22 kabupaten/kota. Sementara itu, program CSR bertujuan membuka lahan sawah baru dengan target 13.810 hektare pada 14 kabupaten.

Menyadari tantangan utama di NTT adalah ketersediaan air, terutama selama musim kemarau yang bisa berlangsung 8-9 bulan, program ini secara strategis mengintegrasikan solusi pengelolaan air. Ini diwujudkan melalui pembangunan irigasi perpipaan sebanyak 270 unit dan irigasi perpompaan 219 unit pada tahun 2024 untuk memastikan pasokan air yang cukup. Kemajuan program ini sangat menggembirakan. Hingga 12 Agustus 2025, dari total target Oplah, lahan seluas 16.422 hektare telah menyelesaikan tahap Detail Engineering Design (DED). Untuk program CSR, dari target awal 5.200 hektare yang telah terkontrak untuk SID, progresnya juga berjalan baik dengan penjajakan lokasi dan pengambilan data sosial ekonomi di lapangan.

Inovasi kelembagaan yang menonjol dalam program ini adalah pembentukan Brigade Pangan (BP). Brigade Pangan merupakan unit yang beranggotakan petani milenial (usia 19–39 tahun) yang difokuskan pada pengelolaan lahan pertanian secara modern, profesional, dan terstruktur. Setiap unit terdiri atas 15 anggota, dengan struktur organisasi menyerupai badan usaha skala kecil yang dilengkapi divisi Produksi, Alsintan, Pasca Panen dan Pemasaran, serta Keuangan. Brigade Pangan diberi mandat mengelola lahan program Oplah dan CSR seluas 150–200 hektare per unit. Dari sisi ekonomi, skema kemitraan dengan pola bagi hasil (profit sharing) 70% untuk Brigade dan 30% untuk petani pemilik lahan diproyeksikan mampu memberikan pendapatan rata-rata Rp10.000.000 per bulan bagi anggota, sekaligus menjadi daya tarik signifikan bagi generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.

Keberhasilan program ini ditopang oleh sinergi kelembagaan yang kuat. Tata hubungan kerja dibangun secara sistematis, melibatkan koordinasi antara Kementerian Pertanian, pemerintah daerah, serta peran aparat teritorial seperti TNI (Babinsa) yang turut berperan dalam pengawalan teknis di lapangan. Peran Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) menjadi sangat vital sebagai pendamping dan fasilitator teknis. Hal ini diperkuat oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2025 yang menegaskan pengelolaan PPL langsung di bawah koordinasi Kementerian Pertanian guna memastikan keselarasan pelaksanaan program.

Dukungan teknologi juga menjadi elemen penting dalam program ini. Pada tahun 2025, pemerintah telah mendistribusikan 2.534 unit alsintan modern yang mempercepat proses olah tanah dan panen. Selain itu, pemanfaatan aplikasi digital seperti ArcGIS Field Maps digunakan untuk pemetaan presisi, perencanaan tanam, serta pemantauan capaian secara real-time. Dengan langkah tersebut, efektivitas dan akurasi program semakin meningkat.

Walaupun pada tahun 2025 NTT diproyeksikan masih mengalami defisit beras dibandingkan kebutuhan konsumsi, hal ini justru menjadi pemacu semangat bahwa program swasembada pangan tengah berada pada jalur yang tepat. Dengan potensi lahan kering seluas 1,8 juta hektare dan lahan baku sawah 176.694 hektare, ruang pengembangan produksi pangan di NTT masih terbuka sangat luas.

Dengan demikian, mewujudkan swasembada pangan di NTT bukanlah sebuah angan-angan, tetapi misi nyata yang sedang dijalankan melalui strategi yang terukur, kolaborasi lintas sektor, serta semangat gotong royong. Optimalisasi lahan, pemberdayaan petani milenial melalui Brigade Pangan, serta dukungan sarana teknologi modern adalah modal kuat NTT untuk menjadi salah satu pilar penting ketahanan pangan nasional. Seperti yang pernah dikatakan Bung Karno, "Siapa yang menguasai pangan, menguasai masa depan," dan NTT kini tengah bekerja keras untuk menggenggam masa depan yang cerah dan berdaulat secara pangan.

Dipublikasi Pada : 27-08-2025