Peran Rumput Lokal dalam Menentukan Kualitas Pupuk Organik dari Feses Ternak

By : Galih Fajar Antasari, S.Tr.Pt., M.Sc

Dalam diskursus pertanian berkelanjutan, feses ternak hampir selalu ditempatkan sebagai isu hilir, sesuatu yang perlu “dikelola” agar tidak mencemari lingkungan. Cara pandang ini bermasalah sejak awal, karena secara ilmiah feses ternak justru merupakan simpul penting yang menghubungkan sistem pakan, fisiologi ternak, dinamika mikroba, dan kesuburan tanah. Jika titik ini dipahami secara utuh, maka pupuk organik tidak lagi sekadar produk sampingan, melainkan keluaran yang dapat direkayasa kualitasnya sejak tahap pemberian pakan. Di sinilah peran rumput lokal menjadi krusial, bukan hanya sebagai sumber energi ternak, tetapi sebagai penentu kualitas pupuk organik bokashi dan kompos yang akan kembali ke lahan pangan.

Secara biologi, feses adalah residu dari proses pencernaan yang tidak pernah netral. Apa yang tidak tercerna, apa yang terdegradasi sebagian, dan apa yang diekskresikan ulang sebagai metabolit nitrogen sangat dipengaruhi oleh kualitas hijauan yang dikonsumsi. Data klasik Lingga yang dikutip Setiawan menunjukkan bahwa kandungan nitrogen feses sapi hanya sekitar 0,40%, jauh lebih rendah dibanding kambing, domba, atau ayam. Temuan ini sering disalahartikan sebagai kelemahan sapi. Padahal, pendekatan ini mengabaikan dua fakta penting. Pertama, volume feses sapi sangat besar sehingga total suplai bahan organik tetap signifikan. Kedua, kandungan karbon dan kadar air tinggi pada feses sapi justru berperan besar dalam perbaikan struktur tanah jangka panjang.

Namun, ketika tujuan utama adalah produksi bokashi cepat atau pupuk organik dengan pelepasan hara singkat untuk tanaman pangan musiman, rasio C/N menjadi variabel kunci. Penelitian Li et al. serta Safari et al. (2023) secara konsisten menunjukkan bahwa feses sapi perah memiliki rasio C/N awal mendekati 24, yang berarti proses dekomposisi berjalan lambat kecuali dilakukan rekayasa komposisi bahan. Di titik ini, pakan rumput lokal yang dikombinasikan dengan legum menjadi faktor pembeda yang sangat signifikan.

Indonesia memiliki kekayaan hijauan lokal yang sering diremehkan karena tidak “unggul” secara varietas. Padahal, data kandungan nutrisi menunjukkan variasi yang sangat besar. Rumput jongkongan dengan protein kasar di atas 15 persen, kolomento dengan protein menengah dan serat tinggi, serta setaria yang relatif stabil sepanjang musim, menciptakan profil feses yang berbeda walaupun ternaknya sama. Efendi menunjukkan bahwa pada sapi Sumbawa, penambahan lamtoro ke dalam ransum hijauan menurunkan rasio C/N feses hingga mendekati 17. Angka ini secara teknis sudah ideal untuk pengomposan cepat tanpa perlu banyak bahan penyeimbang tambahan.

Implikasinya tidak sepele. Feses dengan rasio C/N rendah berarti nitrogen lebih tersedia bagi mikroba dekomposer. Ini mempercepat fase termofilik, meningkatkan aktivitas bakteri pengikat nitrogen, dan menghasilkan kompos matang dengan stabilitas yang lebih baik. Safari et al. membuktikan bahwa pada C/N awal 16, kompos feses sapi perah yang dicampur daun kirinyuh menghasilkan C/N akhir sekitar 10, dengan kandungan nitrogen total yang sangat tinggi serta populasi Azotobacter yang melimpah. Dari sudut pandang pupuk hayati, ini adalah kualitas premium yang jarang dicapai hanya dengan mengandalkan feses mentah.

Perbandingan dengan kambing semakin memperjelas peran pakan. Kambing secara fisiologis lebih efisien memanfaatkan hijauan berkualitas rendah, namun ketika diberi pakan rumput lokal berkadar protein tinggi dan legum, feses yang dihasilkan memiliki konsentrasi hara lebih tinggi per satuan berat kering dibanding sapi. Hartono dan Suningsih menunjukkan bahwa pupuk kandang kambing mampu meningkatkan produksi rumput setaria secara signifikan, bahkan pada tanah ultisol yang secara alami miskin hara. Yang menarik, peningkatan ini tidak selalu diikuti lonjakan kandungan protein hijauan, tetapi justru penurunan serat kasar. Ini mengindikasikan perbaikan status hara tanah yang berdampak pada efisiensi pertumbuhan tanaman, bukan sekadar akumulasi biomassa.

Di titik ini, asumsi populer bahwa “semua kotoran ternak sama saja” runtuh secara ilmiah. Feses adalah refleksi langsung dari kualitas pakan. Rumput lokal yang dipilih secara sadar, dikombinasikan dengan legum lokal, menghasilkan pupuk organik yang secara kimia, biologis, dan fungsional jauh lebih unggul. Penelitian Indrarosa memperkuat argumen ini dengan menunjukkan bahwa kombinasi feses kambing dan limbah buah lokal menghasilkan kompos dengan performa terbaik pada rumput gajah. Ini bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari keseimbangan karbon, nitrogen, dan substrat mudah terfermentasi yang optimal bagi mikroorganisme tanah.

Dari perspektif penyuluhan dan pelatihan, implikasi ini sangat strategis. Petani dan peternak tidak perlu bergantung pada input eksternal mahal untuk meningkatkan kualitas pupuk organik. Rekayasa kualitas pupuk dapat dimulai dari padang rumput di sekitar mereka. Rumput lokal bukan lagi solusi darurat, melainkan instrumen ilmiah yang sahih untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan. Tantangannya bukan pada ketersediaan teknologi, tetapi pada perubahan cara berpikir. Selama pakan dipandang hanya sebagai alat menggemukkan ternak, maka potensi feses sebagai sumber kesuburan tanah akan terus disia-siakan.

Dipublikasi Pada : 18-12-2025